Italiano (Italia)
 

منبرٌ كبيرٌ لنشر وسطية الأزهر الشريف بكل لغات العالم

أقسم بالله العظيم أن أكون مخلصًا لديني ولمصر وللأزهر الشريف, وأن أراقب الله في أداء مهمتى بالمركز, مسخرًا علمي وخبرتى لنشر الدعوة الإسلامية, وأن أكون ملازمًا لوسطية الأزهر الشريف, ومحافظًا على قيمه وتقاليده, وأن أؤدي عملي بالأمانة والإخلاص, وأن ألتزم بما ورد في ميثاق العمل بالمركز, والله على ما أقول شهيد.

 

 

Sambutan Grand Syeikh Al-Azhar dalam Konferensi Lembaga Fatwa Mesir
Anonym
/ Categories: Main_Category

Sambutan Grand Syeikh Al-Azhar dalam Konferensi Lembaga Fatwa Mesir

 

Sambutan Grand Syeikh Al-Azhar dalam Konferensi Lembaga Fatwa Mesir
“Pembentukan Kemampuan Ilmiah dan Pengkaderan Fatwa untuk Imam Masjid di Negara Minoritas Muslim”

 

  • Saya menolak setiap bentuk Syariat yang bertentangan dengan Syariat Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah, atau Syariat yang menyalahi ajaran keduanya, baik dari dekat maupun jauh.
  • Fatwa yang kaku dan ketakutan berijtihad menyebabkan kesulitan dan bahaya bagi umat.
  • Berbuat dzalim kepada istri dan bermaksud membahayakannya merupakan suatu tindak pidana besar.
  • Undang-undang pernikahan diberlakukan demi kemaslahatan keluarga dan masyarakat secara bersamaan.
  • Anak-anak jalanan adalah korban dari keluarga yang hancur karena kegagalan hubungan pernikahan dan perceraian.
  • Ulama pada abad lalu lebih berani dari ulama saat ini dalam membahas berbagai permasalahan dan hukum yang perlu diperbarui dan ditinjau ulang.
  • Keengganan ahli Fikih untuk berijtihad akan menyebabkan masyarakat Islam pasrah kepada pihak lain yang akhirnya bisa didikte sesuai keinginannya.
  • Istilah “Minoritas Muslim” adalah istilah baru dalam budaya Islam yang selalu dijauhi oleh Al-Azhar di setiap rilis dan dokumentasinya.
  • Istilah “Minoritas Muslim” mengisyaratkan perasaan terisolasi dan kerendahan.
  • Kebudayaan Islam menolak dan mengingkari istilah “Minoritas”, serta menggantinya dengan makna “Kewarganegaraan Sempurna.”
  • Fikih Kewarganegaraan adalah benteng yang kuat di hadapan musuh dan kolonialisme modern.
  • Penguatan Fikih Kewarganegaraan antara kaum muslimin di Eropa merupakan langkah penting untuk mencapai perpaduan positif yang dapat melindungi identitas.
  • Kolonialisme modern memanfaatkan permasalahan minoritas sebagai ujung tombak untuk memecah belah negara.

 

Berikut ini teks lengkap dari sambutan Grand Syeikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Al-Thayeb dalam konferensi Lembaga Fatwa Mesir berjudul “Pembentukan Kemampuan Ilmiah dan Pengkaderan Fatwa untuk Para Imam Masjid di Negara Minoritas Muslim.”

 

 

  •  

 

Segala puji bagi Allah. Shalawat serta Salam selalu tercurahkan kepada baginda kami Rasulullah, anggota keluarga, dan para sahabatnya.

Yang terhormat para ulama dari ahli fatwa, ilmu dan pemikiran.

 

Assalamu ‘Alaikum wa Rahamatullâhi wa Barakâtuh.

Saya ucapkan selamat datang atas kehadiran para tamu di negara Mesir dan Al-Azhar Asy-Syarif dengan segenap instansi pendidikan dan dakwahnya. Saya berharap konferensi ini mencapai kesuksesan dalam mewujudkan sesuatu yang dinantikan oleh kaum muslimin. Di mana mereka menggantungkan harapan yang sangat besar kepada para ahli fatwa dan lembaga-lembaga fatwa, guna meringankan keretakan yang mulai meluas dan bertambah banyak setiap harinya di dalam kehidupan modern, dan kebutuhan yang urgen di satu sisi, serta kesesatan Fikih –jika penamaan ini tepat– di sisi lainnya. Itulah fikih yang selalu didengar telinga siang-malam dan memburu mereka di manapun mereka berada, untuk mengembalikan mereka bukan kepada yang mudah di dalam Syariat maupun rahmat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, akan tetapi Fikih yang menyeru kepada percampuran antara berbagai pendapat ekstrim yang dikatakan dalam beberapa kesempatan khusus, di bawah tekanan kondisi yang darurat, namun sama sekali tidak menyentuh realita kehidupan manusia saat ini.

Jenis Fikih semacam ini telah digaungkan oleh sejumlah mufti yang berfikiran selaras dengannya, yang mana –sangat disayangkan– telah berhasil menguasai banyak sekali lembaga fatwa di negara Arab. Bahkan bisa saja saya katakan bahwa mereka telah berhasil menguasai seluruh lembaga Fikih dan Syariat. Dan yang terdepan adalah Lembaga Riset Islam di Al-Azhar ini sendiri.

Keberhasilan dan kemenangan ini bukan karena Fikih yang mereka sampaikan logis dan mudah, atau mampu menjadikan hidup ini lebih mudah dari realitanya. Namun, keberhasilan ini disebabkan oleh kemampuan para dai mereka –lelaki dan perempuan– dalam bergerak dan turun ke masyarakat, masuk ke rumah-rumah di kampung dan pedesaan. Lebih dari itu, mereka juga menguasai sebagian mimbar masjid dan menyampaikan ceramah tentang apa pun yang mereka inginkan. Di saat yang sama, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa dan komite riset Fikih hanya fatwa yang bersifat personal, terbatas pada individu penanya, tersimpan di dalam buku-buku ilmiah yang tidak terjamah oleh jutaan umat Islam dan terkunci hanya dalam ruang diskusi muktamar yang diakhiri dengan rekomendasi-rekomendasi berupa harapan-harapan yang tidak diejawantahkan oleh para ahli dalam realita kehidupan masyarakat.

Hadirin yang mulia, perkenankan saya untuk mengemukakan hal penting secara jujur dan terus terang, namun sebelumnya saya sangat berharap agar hadirin jangan berfikir bahwa saya hendak membantah atau mengkritik. Na’udzubillah, saya bukan tipe orang seperti itu dan tidak mungkin terbetik hal-hal semacam itu dalam pikiran saya. Saya sadar sekali bahwa saya sedang berbicara di hadapan para pakar dan cendekiawan Arab dan Islam. Saya, sebelum anda semua, adalah orang pertama yang bertanggungjawab di hadapan Allah dan umat Islam. Barangkali saya orang yang banyak bersentuhan dengan masyarakat dan orang-orang lemah, banyak mengetahui permasalahan keluarga yang menimpa mereka, bahkan sampai kepada perpecahan dan perceraian. Hal tersebut disebabkan fatwa yang kaku, ijtihad yang menyeramkan dan ketakutan untuk melakukan pembaruan, sampai-sampai saya menduga bahwa kita sebagai seorang pakar dalam ilmu dan fatwa, sangat teliti dalam memberi fatwa secara teks, namun kita –banyak atau sedikit– telah kehilangan objek teks dan pemahaman akan realita yang diperlukan fatwa terhadapnya. Kita tidak mempelajari dengan seksama realita tersebut, faktor-faktor penyebabnya, efek bahaya yang muncul dan tingkat penderitaan yang menimpa mereka baik secara sosial maupun mental.

Saya akan sampaikan kepada hadirin satu contoh masalah faktual berkaitan dengan fenomena poligami dan perceraian, dampak yang muncul dari fenomena ini berupa kesengsaraan yang menimpa istri, perceraian yang dapat menghancurkan masa depan anak-anak, dan kehilangan yang menyebabkan mereka bertindak semena-mena serta melakukan tindak kriminal. Sebelumnya saya sampaikan bahwa saya tidak mengajak hadirin untuk membuat aturan yang menghapus hak poligami, bahkan saya menolak dengan tegas setiap aturan yang bertentangan atau meruntuhkan Syariat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal itu penting saya sampaikan agar dapat menutup celah bagi mereka yang suka menukil pernyataan saya secara tidak lengkap dan bahkan di luar konteks pembicaraan untuk mendatangkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Saya bertanya-tanya: apa yang mendorong seorang muslim yang miskin dan serba kekurangan itu melakukan poligami dan meninggalkan istri pertamanya beserta anak-anaknya dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa pun? Tidak ada dalam hatinya rasa canggung yang dapat menahannya untuk berlaku sewenang-wenang dalam menggunakan hak syar’i ini dan keluar dari tujuan utama Syariat serta dampak yang terjadi di masa mendatang?

Jawabannya menurut saya adalah: dakwah Syariat Islam tentang perkara ini tidak sampai kepada masyarakat secara benar, fatwa tentang masalah ini hanya fokus pada Masyrûth (yang disyaratkan) yaitu bolehnya poligami dan melupakan syarat poligami itu sendiri yaitu adil dan tidak menyakiti istri. Telah jamak diketahui bahwa tidak adanya syarat menyebabkan tidak adanya sesuatu yang disyaratkan, karena syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menyebabkan ketiadaan yang disyaratkan, dan keberadaannya tidak mengharuskan yang disyaratkan itu ada atau tiada. Benar, pemahaman ini sudah melekat di pikiran mereka, sampai-sampai kebanyakan mereka menganggap bahwa poligami adalah hak yang diperbolehkan tanpa batasan dan syarat apapun. Dan telah melekat juga di hati mereka bahwa tidak ada tanggungjawab secara Syariat yang dapat menghalangi keinginan mereka selama hal itu halal. Begitulah yang mereka katakan.

Hukum-hukum Syariat (agama) yang telah kita pelajari, dan masih saja terus kita pelajari, dalam kitab-kitab Fikih di awal bab nikah menegaskan: bahwa pernikahan memiliki lima hukum, di antaranya adalah Haram dan Makruh. Mazhab Hanafi mengharamkan nikah jika sang suami yakin bahwa dia akan menzhalimi istrinya dengan pernikahan itu, hal tersebut dikarenakan hikmah dari Syariat pernikahan di dalam Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan berupa menjaga diri dari zina dan mendapat pahala dari anak shaleh yang menyembah Allah Swt. sebagai hasil dari pernikahan itu. Sehingga jika Syariat agung ini dicampuri dengan kezaliman, kesewenang-wenangan dan mudharat, maka berdosalah sang suami dan dia telah melakukan sebuah keharaman. Di sini hukum nikah mengikut kepada kaedah:

دفعُ المَفسدةِ مُقدَّمُ على جلبِ المصلحةِ.

“Mencegah kerusakan lebih utama daripada mendatangkan manfaat.

Walaupun semua ulama sepakat akan wajibnya menikah ketika takut akan terjatuh ke dalam perbuatan zina, hanya saja mereka (ulama Mazhab Hanafi) mensyaratkan tidak adanya kekuatiran akan adanya bahaya. Hingga mereka berkata: “Jika terdapat pertentangan antara rasa takut akan jatuh ke dalam perbuatan zina, dengan rasa takut akan berbuat kezaliman dan menyebabkan bahaya kepada istrinya, maka didahulukan rasa takut kepada mudharat,” sehingga haramlah menikah ketika itu. Mereka juga berkata: “Karena kezaliman adalah maksiat yang berhubungan dengan hamba, dan larangan dari zina merupakan hak Allah Swt. Ketika keduanya bertentangan, maka lebih diutamakan hak hamba, karena hamba adalah makhluk yang membutuhkan, sedangkan Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Kaya.” Hal yang serupa akan kita temukan juga dalam Fikih Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i.

Pelajaran yang dapat diambil dari hukum ini –sebagaimana yang saya pahami– bahwasanya kezaliman kepada istri adalah sebuah kejahatan yang lebih besar dari berbuat zina. Maka zina lebih kecil jika dibandingkan dengan menzalimi istri yang mana memiliki bahaya yang lebih besar. Dan ini baru pada pernikahan yang pertama dengan satu istri, lalu bagaimana dengan pernikahan kedua dan ketiga yang diiringi rasa takut akan berbuat zalim, terlebih jika memang berniat zalim dengan sengaja dan ingin mencelakakan istri pertama?

Mungkin ada yang berkata: “Apabila mudharat dialami oleh sang istri, maka dia berhak menuntut cerai. Jika suami menolak, maka istri bisa menuntut khulu’. Maka biarkan saja suami bersama siapa yang dia sukai, dan biarkan juga sang istri untuk memilih menerima hal itu atau dia menuntut khulu’.”

Maka jawaban saya: perkataan ini akan menyebabkan terkumpulnya dua bahaya atas diri istri: pertama, karena dijauhi suami, dan kedua, karena keterpaksaan untuk berkorban dengan semua hak-haknya sebagai konsekuensi khulu’. Sedangkan sang suami malah mendapat dua keuntungan: pertama, dia bisa mendapatkan apa yang diinginkan nafsunya –yang mana agama telah memerintahkannya untuk mengendalikannya–, kedua, dia mendapat hak-hak istri yang terpaksa diserahkan kepadanya karena kezaliman yang dihadapinya.

Mungkin ini sebabnya kita tidak menemukan dalam perkataan ahli Fikih tentang masalah ini satu isyarat pun, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang membolehkan menikah walau takut akan berbuat zalim dan memberikan opsi bagi sang istri untuk memilih antara menerima kezaliman itu atau meminta khulu’. Perkataan ulama dalam hal ini hanya seputar keharusan memikul tanggung-jawab akhlak dan moral kepada pasangan sebelum menempuh pernikahan, yang mana pernikahan itu didasarkan kepada adanya hak-hak sebelum adanya pikiran atau keinginan yang datang tiba-tiba (untuk menjalani pernikahan). Dan bahwa pernikahan itu adalah tanggung-jawab besar yang disebut di dalam Al-Qur’an sebagai Al-Mîtsâq Al-Ghalîzh dalam Firman-Nya:

﴿وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا﴾ [النساء: 21]

“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain, dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS. Al-Nisa’: 21)

Dan bahwa pernikahan itu tidaklah disyariatkan untuk memperdaya pasangan, akan tetapi diwajibkan demi kemaslahatan keluarga dan masyarakat semuanya.

Demikianlah, bahkan survey statistik yang dilakukan terhadap anak-anak jalanan menyebutkan bahwa tidak kurang dari 90% dari mereka merupakan korban dari keluarga-keluarga yang disia-siakan (dirusak) oleh kekacauan pernikahan dan perceraian. Berbagai kejahatan anak-anak jalanan, baik dari segi moral dan akhlak maupun dari segi sosial, sesungguhnya semua itu disebabkan oleh kesewenang-wenangan dalam menggunakan hak yang disebutkan agama, atau pemahaman yang tidak lengkap tentang hakikat Syariat. Hal inilah yang menyebabkan keadaan seolah-olah terdapat dikotomi antara Fiqh Nash (pemahaman terhadap teks) dengan Fiqh Wâqi’ (pemahaman terhadap fakta lapangan).

Menurut saya, dan setelah melalui berbagai pengalaman yang terjadi di lapangan, hal itu disebabkan adanya alasan ketakutan di antara ahli fatwa yang terdiri dari para ulama dan ahli Fikih, dan kekuatiran antara ijtihad dan sebuah pandangan tentang suatu hukum dan dalil, dilihat dari pertimbangan objek hukumnya dan segala hal yang mengarah pada maslahat (kebaikan) atau mafsadat (keburukan).

 

Sangat disayangkan, namun saya perlu sampaikan di sini bahwa keberanian ulama dan para mufti kita di abad yang lalu lebih baik daripada keberanian ulama kita di abad sekarang, terutama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan hukum yang sangat urgen di tengah masyarakat ke arah pembaruan hukum dan produk ijtihad masa itu. Di antara contohnya terkait ijtihad ulama kita bahwa talak tiga dengan satu lafaz hukumnya dianggap talak satu, meskipun hal itu kita temukan seakan-akan bertentangan dengan ijma’ ulama. Bahkan Qadhi Abdul Wahhab Al-Maliky memandang pernyataan tersebut sebagai pendapat ahlu bid’ah, dan Imam Ibnu Abdi Al-Barr mengatakan bahwa: “Itu bukanlah pendapat ahli ilmu.” Hanya saja para ulama Al-Azhar kala itu tidak menghindar dari penyelesaian problem tersebut, dan juga tidak lari dari tugas untuk mengeluarkan fatwa resmi yang bertentangan dengan berbagai mazhab yang santer, dan mereka tidak kehilangan untuk mendapatkan sandaran ilmiah Fikih klasik bagi fatwa mereka, lalu mereka pun memfatwakan bahwa redaksi semacam ini (tiga kali talak dalam satu waktu) jatuh satu kali talak saja.

 

Produk ijtihad di atas telah terjadi pada tahun 1929 abad lalu, kemudian diadopsi menjadi teks undang-undang Ahwâl Syakhshiyyah (Hukum Privat). Dan kira-kira semenjak 90 tahun lalu pendapat tersebut dipakai Lembaga Fatwa Mesir dalam fatwanya. Lembaga Fatwa Mesir dan Pusat Penelitian Islam tidak berhenti menyelesaikan berbagai persoalan yang sangat krusial dalam kehidupan keluarga terkait talak tiga dengan satu lafaz tadi yang dikategorikan satu kali talak.

 

Terkait bahasan yang sedang kita bincangkan, mayoritas ulama umat ini terhalang untuk berijtihad karena alasan takut sebagaimana kita sampaikan. Terkungkung stagnasi mempertahankan pintu ijtihad yang sebenarnya berpaling di tengah kegelisahan umat, dan mengarah kepada atau hampir mengarah kepada penarikan diri akan peran Syariat dari realitas sosial dan kehidupan masyarakat, serta mengarah pada keterasingan Syariat di dunia penelitian dan pembelajaran.

                 

Sebagian pakar modern memahami bahwa penarikan diri para ahli Fikih dari ranah ijtihad mengakibatkan pembiaran masyarakat Islam diisi sesukanya oleh “pihak lain,” yang itu merupakan “Salah satu corak realitas yang memisahkan agama dari kehidupan atau memisahkannya dari para ulama, yang mana kita mengingkarinya secara teoritis, namun sejatinya kita menerapkannya secara praktis.”       

 

Para hadirin, ulama yang terhormat…

 

Harus diakui bahwa saat ini kita sedang berada dalam kriris yang sesungguhnya yang telah banyak mengorbankan umat Islam di manapun dan kapanpun mereka berada. Krisis ini sebagai dampak dari ketakutan dan penarikan diri dari pergaulan dengan Syariat yang kita anggap berlaku di sepanjang zaman dan tempat, sehingga dapat memberikan jawaban yang cocok dengan kondisi tertentu dan kasus-kasus yang baru. 

 

Selain itu, krisis ini disebabkan oleh hilangnya pandangan Maqâshid yang  tentu saja menggelisahkan dunia ijtihad; seorang faqih mengambil pendapat yang jauh dari suatu peristiwa yang tengah dicari hukum Syariat yang cocok dengannya.  Di samping itu, krisis ini juga disebabkan munculnya fatwa impor dalam bentuk kemasan lintas negara tanpa memperhatikan kondisi masyarakatnya yang mempunyai perbedaan adat-kebiasaan, budaya, bahasa dan kelompok. Sehingga pada akhirnya, satu fatwa disampaikan kepada seorang muslim meskipun berbeda-beda negerinya, bermacam-macam bangsanya, dan berbeda-beda kondisinya; dari perang-damai, kaya-miskin, dan pintar-bodoh. Apakah logis dan bisa diterima jika seseorang berfatwa kepada seorang muslim dengan satu fatwa yang mana berbeda dari sisi bentuk dan realitasnya, berbeda dari kemungkinan bahaya dan maslahatnya; seperti yang terjadi di Kairo, Niamey, Mogadishu, Jakarta, New Delhi, Moscow, Paris, dan berbagai kota serta desa lainnya di Barat dan di Timur.    

 

Adapun yang berkaitan dengan tema konferensi ini, saya mohon izin kepada saudara saya, yang terhormat Mufti Republik Arab Mesir, izinkan saya untuk menyampaikan pendapat saya, bahwa terma “Minoritas Muslim” dalam judul konferensi ini merupakan terma baru dalam kebudayaan Islam kita. Al-Azhar telah berupaya untuk menghindari penggunaan terma tersebut dalam khutbah-khutbahnya dan dalam setiap yang dikeluarkan oleh Al-Azhar baik dalam bentuk dokumen maupun pernyataan resmi. Karena terma tersebut mengandung unsur isolasi dan kerendahan, serta membuka peluang tumbuhnya benih-benih fitnah dan perpecahan, bahkan terma ini semenjak awal telah menyita banyak hal yang dimiliki oleh kaum minoritas mulai dari hak-hak keberagamaan dan hak-hak sipilnya.

Dan yang saya ketahui, bahwa kebudayaan Islam kita tidak mengenal istilah “Minoritas Muslim” ini, bahkan mengingkari dan menolaknya. Maka telah dikenal ganti dari istilah tersebut yaitu makna “Kewarganegaraan Sempurna” sebagaimana telah digunakan dalam Piagam Madinah. Karena kewarganegaraan –dalam Islam– adalah sebuah hak dan kewajiban yang dimiliki oleh semuanya sesuai dengan prinsip dan neraca yang dapat mewujudkan keadilan dan persamaan.

﴿إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ﴾

Sesungguhnya Allah Memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat baik.”

“Mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kita.”

Maka seorang muslim di Inggris misalkan, ia memiliki kewarganegaraan Inggris secara sempurna baik dalam hak maupun kewajibannya. Demikian juga kaum Nasrani di Mesir, ia memiliki kewarganegaraan sempurna dalam hak dan kewajibannya, yang dengan kewarganegaraan sempurna seperti ini tidak akan memberikan ruang kepada keduanya untuk disebut sebagai minoritas yang mengesankan adanya diskriminasi serta pembedaan dalam arti kewarganegaraan.

Dan saya yakin, bahwa peneguhan “Fikih Kewarganegaraan” antara kaum muslim di Eropa dan di masyarakat lainnya dengan beragam identitas dan kebudayaannya, merupakan sebuah langkah urgen menuju “Penyatuan Positif” yang senantiasa kita galakkan di berbagai ibu kota negara-negara Barat, yang itu dapat menjaga eksistensi sebuah negara dan kesatuannya, serta meneguhkan purifikasi afiliasi yang menjadi pondasi kesatuan dalam sebuah masyarakat, serta menyokong diterimanya keberagaman kebudayaan dan koeksistensi secara damai, juga menumpas rasa keterasingan yang dapat memecah loyalitas bangsa. Maka orang asing pun bimbang antara negeri yang ia tinggali dan ia makan dari hasil alamnya, dan dengan loyalitas lain berupa keterasingan yang ia sangka dan ia berlindung kepadanya untuk kabur dari perasaannya bahwa ia merupakan bagian dari minoritas yang terancam.

Maka “Fikih Kewarganegaraan” ini apabila kita berhasil menanamkannya dalam pikiran kaum muslim dan dalam kebudayaan mereka, ia akan menjadi benteng kuat yang membendung jalur-jalur penjajahan yang biasanya memanfaatkan minoritas dalam konflik politik serta ketamakan hegemoni dan ekspansi, lalu menjadikan masalah minoritas ini sebagai ujung tombak dalam pembagi-bagian dan pemecah-belahan yang digunakan sebagai senjata oleh kolonial baru.

Adapun mengenai kaderisasi penyiapan para imam untuk mampu berfatwa, maka itu adalah permasalahan yang sangat penting. Dan alangkah bagusnya apa yang telah dilakukan oleh Lembaga Fatwa Mesir dalam hal tersebut, saat menyadari akan pentingnya dan urgennya permasalahan ini. Pembicaraan mengenai misi yang wajib bagi kita ini sangatlah panjang, dan Al-Azhar telah memiliki kontribusi dalam pembentukan para imam di luar negeri, serta memberikan penyuluhan kepada mereka tentang permasalahan yang bersinggungan dengan kebutuhan kaum muslim di sana dalam berbagai bidang. Mereka juga telah diberikan pelatihan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional di Kairo, yaitu sebanyak 538 imam dari Afghanistan, Pakistan, Kurdistan, Iraq, Cina, Indonesia, Inggris, Yaman, juga negara-negara Afrika dan Amerika Selatan.

Alangkah baiknya jika terdapat koordinasi dalam masalah ini dengan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional hingga anda semua tidak mengawalinya dari nol.

Saudara-sadara yang mulia…

Saya telah berbicara panjang-lebar dan saya mohon maaf. Dan maaf senantiasa diterima oleh orang-orang yang mulia.

Terimakasih atas perhatian hadirin.

Wassalâmu’alaikum wa Rahmatullâhi wa Barakâtuh.

 

 

Print
5767

Please login or register to post comments.