Bahasa Indonesia (Indonesia)

Mimbar Agung Untuk Menyebarkan Moderatisme Al- Azhar Al-Syarif Dengan Berbagai Bahasa Dunia

 

Pidato Grand Syaikh Al-Azhar dan Ketua Dewan Cendekiawan Muslim  Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib  dalam  Pertemuan Internasional untuk Persaudaraan Manusia  Abu Dhabi – Uni Emirat Arab
Anonym

Pidato Grand Syaikh Al-Azhar dan Ketua Dewan Cendekiawan Muslim Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib dalam Pertemuan Internasional untuk Persaudaraan Manusia Abu Dhabi – Uni Emirat Arab

 

Bismillâhirrahmânirrahîm

 

Pidato Grand Syaikh Al-Azhar dan Ketua Dewan Cendekiawan Muslim

Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib

dalam

Pertemuan Internasional untuk Persaudaraan Manusia

Abu Dhabi – Uni Emirat Arab

 

Bismillâhirrahmânirrahîm

            Saudara dan sahabat saya, yang mulia Paus Fransiskus, Paus Gereja Katolik.

            Saudara saya yang mulia, Syekh Muhammad bin Zayed, juga saudaranya, Syekh Muhammad bin Rasyid, serta semua saudaranya para pemimpin Uni Emirat Arab.

            Assalâmu ‘Alaikum wa Rahmatullâhi wa Barakâtuh.

            Dan selanjutnya…

Saya ingin memulai pidato ini dengan mengucapkan terima kasih kepada negara Uni Emirat Arab, baik pemimpin dan rakyatnya, atas penyelenggaraan acara bersejarah ini, acara yang mengumpulkan para pemimpin agama, cendekiawannya, tokoh gereja, tokoh politik, intelektual, tokoh sastra dan media. Tokoh-tokoh dunia yang berkumpul pada hari ini, di tempat yang baik ini, Abu Dhabi, bersama seluruh dunia —datang— untuk menyaksikan peluncuran “Piagam Persaudaraan Manusia” dan apa yang dikandungnya dari seruan untuk menyebarkan budaya perdamaian, menghormati orang lain dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, sebagai pengganti dari budaya kebencian, ketidak-adilan, kekerasan dan pertumpahan darah, sekaligus tuntutan kepada para pemimpin dunia, para pemegang kebijakan dan semua pihak yang dapat menentukan nasib bangsa serta memiliki kekuatan militer dan ekonomi, untuk segera melakukan intervensi guna menghentikan pertumpahan darah, pembunuhan nyawa yang tak berdosa, dan segera mengakhiri konflik, pertikaian serta peperangan sia-sia yang hampir membawa kita kembali kepada kemunduran peradaban menyedihkan yang mengancam akan meletusnya Perang Dunia III.

            Hadirin yang mulia!

            Saya termasuk dalam generasi yang dapat disebut sebagai “generasi perang” dengan semua makna yang dikandungnya mulai dari ketakutan, kengerian dan penderitaan. Saya masih ingat pembicaraan orang-orang —setelah Perang Dunia II— tentang kengerian perang dan kehancuran serta kemusnahan yang diakibatkannya, dan belum genap umur saya sepuluh tahun, tiba-tiba Agresi Tiga Negara (Krisis Suez) menggempur kami pada Oktober 1956 M. Saya melihat dengan mata kepala sendiri serangan pesawat ke bandara kota saya, Luxor, saya mengalami bagaimana kami melewati malam-malam dalam kegelapan total tanpa memejamkan mata sekejap pun hingga pagi hari, saya merasakan sendiri bagaimana kami lari ke gua untuk bersembunyi dalam kegelapan. Kenangan menyakitkan itu masih tersimpan jelas dalam ingatan seakan-akan belum melewati masa lebih dari enam puluh tahun. Dan belum genap sepuluh tahun dari Krisis Suez tersebut, sampai terjadi lagi perang tahun 1967 M. yang lebih dahsyat dan mengerikan dari sebelumnya. Kami semua merasakan sendiri semua penderitaan perang ini, dan enam tahun setelahnya kami mengalami apa yang disebut dengan “ekonomi perang”. Kami tidak dapat bernapas lega kecuali dengan kemenangan tahun 1973 M. dalam perang pembebasan yang mengembalikan martabat bagi seluruh bangsa Arab, menghidupkan kembali kebanggan serta rasa ketidak-tundukan dalam diri mereka, kemampuan untuk mengalahkan kezaliman dan para pelakunya, serta mematahkan duri permusuhan dan para penyerang. Saat itu kami berpikir bahwa kami telah meninggalkan masa-masa perang dan memulai masa perdamaian, keamanan dan era produktivitas, tetapi hal itu segera berubah saat kami menghadapi gelombang perang baru yang disebut “terorisme” yang dimulai pada tahun 1990-an, dan terus meningkat hingga hari ini sehingga mengancam seluruh dunia Timur dan Barat.

            Harapan kami pada milenium ketiga ini adalah: surutnya gelombang kekerasan, terorisme dan pembunuhan orang-orang tak berdosa dari kalangan lelaki, perempuan dan anak-anak, namun harapan itu untuk ketiga kalinya sirna setelah kita dikagetkan dengan peristiwa pengeboman dua menara kembar di New York pada 11 September awal abad ke-21 ini, yang mana Islam dan kaum Muslimin harus membayar mahal atas peristiwa itu, sehingga satu setengah miliar muslim di seluruh dunia dipaksa bertanggung-jawab atas kejahatan segelintir orang yang jumlahnya tidak melebihi jari kedua tangan. Insiden ini dieksploitasi secara negatif oleh media internasional untuk menggambarkan Islam dalam stigma agama yang haus akan pertumpahan darah sekaligus menggambarkan umat Islam sebagai orang barbar dan liar yang menjadi ancaman serius bagi peradaban dan masyarakat-masyarakat beradab. Media ini pun telah berhasil menyebarkan rasa kebencian dan ketakutan di kalangan masyarakat Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin, hingga mereka pun dikuasai rasa takut tidak hanya dari teroris saja, namun dari semua hal yang berbau Islam baik secara global dan terperinci.

            Hadirin sekalian!

            Sesungguhnya “Piagam Persaudaraan” yang hari ini kita rayakan peluncurannya dari tanah yang diberkahi ini, telah lahir dari jamuan mulia saat saya menjadi tamu di rumah saudara sekaligus sahabat mulia saya Paus Fransiskus, ketika salah seorang pemuda yang turut hadir di situ menyampaikannya, lalu mendapatkan sambutan baik dari Paus dan dukungan dari saya, yang itu setelah mengadakan berbagai dialog, di mana kami merenungi situasi dan kondisi dunia, melihat penderitaan korban perang, orang-orang miskin, terlantar, janda, anak yatim, kaum tertindas, orang-orang yang ketakutan dan lari dari rumah, tanah, serta keluarga mereka, dan kami memikirkan apa yang dapat diberikan oleh agama-agama Ilahi sebagai “pelampung keselamatan” bagi mereka yang tidak beruntung itu. Yang membuat saya terkejut adalah, bahwa keprihatinan yang mulia Paus dan keprihatinan saya sama-sama sejalan, masing-masing dari kami merasakan kesucian tanggung-jawab yang akan dimintai pertanggung-jawabannya oleh Allah di hari kiamat kelak. Sahabat saya yang mulia Paus merasakan pedihnya penderitaan seluruh manusia tanpa terkecuali, tidak ada perbedaan dan diskriminasi.

            Di antara hal paling menonjol dari apa yang telah kami sepakati adalah:

            Bahwa agama-agama Ilahi sama sekali terbebas dari gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok bersenjata yang pada masa ini disebut “terorisme”, apapun agama, akidah, dan pemikirannya, siapapun itu korban atau di manapun tempat kejahatan yang mereka lakkukan. Mereka adalah para pembunuh, penumpah darah dan penentang Allah serta semua Risalah-Nya, para pejabat di Timur dan Barat harus melakukan tugas mereka untuk melacak pembuat keonaran itu dan menghalau mereka dengan sepenuh kekuatan, sekaligus melindungi kehidupan rakyatnya, keyakinannya dan tempat ibadahnya dari kejahatan mereka.

            Sebagaimana kami juga menerima bahwa semua agama telah sepakat bulat atas larangan membunuh, dan bahwa Allah telah melarang pembunuhan jiwa dalam seluruh Risalah Ilahiah-Nya. Nabi Musa As. telah berseru dalam “Sepuluh Perintah Allah” di atas Gunung Horeb di Sinai dan berkata: “Jangan membunuh! Jangan berzina! Jangan mencuri![1] Lalu Nabi Isa berseru dari atas sebuah bukit di pegunungan Galilea (Al-Jalil) dekat Capernaum di Palestina, dalam “harta akhlaknya yang berharga” yang juga dikenal sebagai “Kotbah di Bukit” (Sermon on The Mount), di mana Nabi Isa menegaskan apa yang telah dibawa oleh Nabi Musa sebelumnya dan menambahinya dalam perkataannya: “Kalian telah mendengar yang difirmankan kepada para pendahulu: Jangan membunuh! Siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi aku berkata kepada kalian: Siapa yang marah terhadap saudaranya harus dihukum … dan siapa yang berkata kepadanya: Wahai orang bodoh! Maka ia harus masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala.”[2] Kemudian datang Nabi Muhammad dan mengumumkan kepada seluruh manusia dari atas bukit Arafah dalam khotbah terakhirnya yang disebut Khuthbah Al-Wadâ apa yang telah dinyatakan oleh kedua saudaranya (Nabi Musa dan Nabi Isa) sebelumnya dan bahkan menambahinya dalam sabdanya:

(أَيُّهَا النَّاسُ، إنِّي وَاللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلِّي لاَ أَلْقَاكُمْ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا، بِمَكَاني هَذَا، فَرَحِمَ اللهُ امْرءًا سَمِعَ مَقَالَتِي اليَوْمَ فَوَعَاهَا (...) أيُّهَا النَّاسُ، إنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، وَسَتَلْقَونَ رَبَّكُمْ، فَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ (...) أَلاَ لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبَ).

“Wahai manusia, Demi Allah, sesungguhnya aku tidak tahu barang kali aku tidak akan bertemu dengan kalian setelah hari ini di tempat ini. Allah Merahmati orang yang mendengar perkataanku hari ini kemudian ia menyadarinya … Wahai manusia, sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian sebagaimana keharaman hari ini, di tanah ini, dan kalian akan menemui Tuhan kalian dan Ia akan Menanyakan tentang amalan kalian … Hendaklah orang yang menyaksikan ini di antara kalian menyampaikannya kepada yang tidak hadir.” Rasulullah juga bersabda:

(مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ وَمَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيْهِ بِحَدِيْدَةٍ فإَنَّ المَلاَئِكَةَ تلْعَنُهُ، وإِنْ كانَ أَخَاهُ لأَبِيْهِ وَأُمِّهِ).

“Barang siapa yang memisahkan antara ibu dan anaknya maka Allah akan memisahkannya dari orang yang dicintainya kelak di hari kiamat … Barang siapa yang mengacungkan besi kepada saudaranya, maka Malaikat melaknatnya, meskipun orang itu adalah saudara seayah dan seibunya.”

Ini di samping puluhan ayat Al-Qur`an lainnya yang mengharamkan pembunuhan jiwa, dan menyatakan bahwa siapapun yang membunuh satu jiwa maka seolah-olah ia telah membunuh semua manusia, dan barang siapa yang menghidupkannya maka seolah-olah ia telah menghidupkan semua manusia.

Anda semua dapat menangkap kesamaan Pesan Ketuhanan dan kesamaan maknanya, bahkan kesamaan tempat yang dijadikan oleh para Nabi untuk menyampaikan pesannya itu, yaitu Bukit Thur di Sinai Mesir, lalu salah satu bukit di pegunungan Palestina dan Bukit Arafah di Makkah di Jazirah Arab.

            Dari sini terlihat jelas kesalahan ungkapan yang mengatakan bahwa agama-agama itu adalah kurir sekaligus sumber utama dari peperangan —dan sejarah telah menjadi saksi atas hal ini— sehingga membenarkan revolusi peradaban modern terhadap agama dan normanya, berikut upayanya untuk menjauhkan agama dari intervensi dalam urusan masyarakat, setelah kebohongan ini merasuk ke dalam kesadaran orang-orang dan kalangan pemuda layaknya kobaran api yang melumat jerami, terutama di Barat, di mana hal ini merupakan sebab di balik penyebaran seruan ateisme, filsafat materialistik, berbagai aliran kekacauan, nihilisme, kebebasan tanpa batas, dan menggantikan agama dengan ilmu pengetahuan eksperimental. Namun setelah lebih dari tiga abad pasca revolusi terhadap Tuhan dan agama Ilahiah ini, terbukti hasilnya adalah bencana di semua lini yang terwujud dalam penderitaan manusia modern yang tidak dipungkiri siapapun kecuali oleh orang yang sombong.

            Kebenaran yang harus kita kemukakan untuk menolak kebohongan ini adalah: bahwa sebab utama di balik krisis dunia modern saat ini sejatinya kembali kepada hilangnya nurani manusia, lenyapnya norma agama, dan berkuasanya kecenderungan serta nafsu materialis, ateis dan berbagai filsafat mandul yang menuhankan manusia, mencemooh Tuhan dan orang yang mengimaninya, serta meremehkan  nilai-nilai luhur yang merupakan satu-satunya jalan untuk menahan nafsu manusia dan menjinakkan “serigala” yang bersemayam dalam jiwanya.

            Adapun perang yang digelorakan atas nama agama dan membunuhi manusia dengan slogannya, maka agama tidak dimintai pertanggung-jawaban atasnya, tetapi yang bertanggung-jawab atas hal ini adalah politik ceroboh yang telah memanfaatkan sebagian pemuka agama dan melibatkan mereka untuk tujuan-tujuan yang sama sekali tidak dikenal dan tidak dihormati oleh agama. Kami sadari bahwa ada sebagian tokoh agama yang menafsirkan teks-teks suci dengan takwil yang salah, namun kami tidak pernah mengakui selamanya bahwa pembacaan agama dengan pembacaan yang jujur dan bersih selamanya tidak membiarkan orang-orang tersesat dan menyesatkan itu untuk menisbahkan diri secara benar kepada agama Ilahi manapun, dan tidak membenarkan mereka untuk mengkhianati amanat mereka dalam menyampaikannya kepada manusia sebagaimana yang diturunkan Allah.

            Namun penyimpangan yang difungsikan dalam memahami teks-teks ini tidak terbatas pada teks-teks agama dan eksploitasinya dalam permusuhan terhadap manusia saja, bahkan sering kali hal serupa terjadi di pasar-pasar politik, ketika teks-teks piagam internasional yang menjamin pemeliharaan perdamaian dunia dibaca dengan pembacaan “khusus” yang membenarkan penyerangan terhadap berbagai negara yang aman dan menghancurkannya sedang rakyatnya tengah berada di dalamnya, dan tidak ada larangan baginya —setelah politik kotor ini melampiaskan nafsu agresinya— untuk meminta maaf kepada mereka yang kehilangan anak, yang menjadi yatim dan janda-janda, dengan berdalih bahwa ia telah salah perhitungan dan salah prediksi. Contoh atas kasus ini sangatlah jelas, sejelas matahari di siang hari.

            Oleh karena itu, dalam piagam ini kami menyerukan penghentian penggunaan agama dan sekte untuk menghasut kebencian, kekerasan dan fanatisme buta, serta menyerukan penghentian penggunaan Nama Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengusiran, teror dan penindasan. Kami juga ingatkan kepada seluruh dunia bahwa Allah tidak menciptakan manusia untuk dibunuh, disiksa, atau disusahkan dalam kehidupan mereka. Allah berlepas Diri dari orang yang menyeru kepada-Nya dengan cara membunuh jiwa atau meneror orang lain atas Nama-Nya.

            Hadirin yang mulia!

            Saya yakin bahwa insiatif urgen dan langkah-langkah yang baik untuk mencapai persaudaraan manusia di wilayah Arab ini akan membuahkan hasil, dan hasilnya telah mulai terlihat nyata di Mesir berkat pertolongan Allah, di mana beberapa hari yang lalu telah diresmikan masjid pertama sekaligus terbesar dan gereja yang saling berdekatan di ibu kota administrasi baru, dalam sebuah langkah bersejarah menuju pengokohan toleransi dan penguatan persaudaraan antar-agama, atas insiatif pelopor dari Presiden Republik Arab Mesir Abdul Fattah Al-Sisi.

            Maka tersisa bagi saya untuk sampaikan satu pesan yang saya tujukan kepada saudara-saudara Muslim di Timur: untuk terus merangkul saudara anda dari warga Kristen di setiap tempat; mereka adalah mitra kita di tanah air, sekaligus saudara kita yang mana Al-Qur`an Al-Karim senantiasa mengingatkan kita bahwa mereka adalah orang-orang terdekat kita yang paling mencintai kita, di mana Al-Qur`an memberikan alasan atas kecintaan ini dengan Firman Allah Swt.:

ﱡ...ﭐﲚ ﲛ ﲜ  ﲝ ﲞ ﲟ ﲠ ﲡ ﲢﱠ   (المائدة [5]: 82).

Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al-Maidah [5]: 82).

Orang-orang Kristen —semua orang Kristen— hati mereka dipenuhi kebaikan, kasih sayang dan belas kasih. Allah-lah Yang telah Menetapkan sifat-sifat mulia ini dalam hati mereka. Inilah yang dicatat Al-Qur`an dalam Firman Allah pada surat Al-Hadid:

ﱡ... ﱶ ﱷ ﱸ ﱹ ﱺ ﱻ ﱼ ﱽ ﱾ ﱿ ﲀ ﲁ ﲂ ﲃ ﲄ... ﱠ (الحديد: [57] ٢٧).

“…dan Kami Iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami Berikan kepadanya Injil dan Kami Jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang...” (QS. Al-Hadid [57]: 27).

Kita sebagai umat Islam tidak boleh lupa bahwa agama Kristen telah merangkul Islam pada awal kemunculannya dan melindunginya dari tirani paganisme dan politeisme yang ingin membunuhnya pada masa lahirnya, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. memerintahkan orang-orang yang tertindas dari sahabatnya —yang merupakan mayoritas pengikutnya— saat siksaan kaum kafir Quraisy terhadap mereka semakin menjadi-jadi, pada saat itu Rasulullah bersabda kepada mereka:

(اذْهَبُوْا إِلَى الحَبَشَةِ فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا لاَ يُظلَمُ أَحَدٌ فِي جِوَارِهِ).

“Pergilah ke Habasyah, sesungguhnya di sana ada seorang raja yang tidak ada seorang pun tertindas di sampingnya.”

Umat Islam saat itu disambut baik oleh raja Kristen ini dan di negara yang juga Kristen, ia memuliakan mereka dan melindungi mereka dari kaum Quraisy, kemudian ia mengembalikan mereka ke Madinah Al-Munawwarah setelah agama Islam menjadi kuat dan tegak.

            Pesan lain bagi saudara-saudara saya dari umat Kristen di Timur: anda sekalian adalah bagian dari umat ini, anda adalah warga negara, bukan minoritas, saya harap anda meninggalkan istilah “minoritas” yang dibenci, anda adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban penuh. Ketahuilah bahwa persatuan kita adalah satu-satunya benteng yang dapat menghancurkan semua konspirasi yang tidak dapat memecah belah antara Kristiani dan Muslim saat perjuangan tercapai dan tiba waktunya memetik hasil.

            Pesan saya kepada warga Muslim di Barat: hendaklah anda semua berintegrasi ke dalam masyarakat luas secara positif, yang di dalamnya anda menjaga identitas agama anda sebagaimana anda menghormati hukum masyarakat tersebut. Ketahuilah bahwa keamanan masyarakat ini adalah tanggung-jawab Syariat dan amanah agama di pundak anda semuanya yang kelak akan dimintai pertanggung-jawabannya di Hadapan Allah Swt. Jika ada hukum negara yang mengharuskan anda untuk melanggar Syariat agama, hendaklah anda kembali kepada jalur-jalur yang legal, sesungguhnya itu cukup untuk mengembalikan hak dan melindungi kebebasan anda.

            Sebagaimana saya berpesan kepada seluruh pemuda dunia di Barat dan Timur: sesungguhnya masa depan tersenyum manis kepada kalian, hendaklah kalian mempersenjatai diri dengan akhlak, ilmu dan pengetahuan. Jadikanlah piagam ini sebagai prinsip dasar bagi hidup kalian, jadikanlah ia sebagai jaminan masa depan yang bebas dari konflik dan penderitaan, jadikanlah ia piagam yang membangun kebaikan dan menghancurkan keburukan, jadikanlah ia sebagai akhir dari kebencian. Ajarkan kepada anak-anak kalian piagam ini yang merupakan perpanjangan dari “Piagam Madinah Al-Munawwarah” dan “Kotbah Bukit” yang menjaga kesamaan kemanusiaan dan prinsip-prinsip etika. Saya dan saudara saya, Paus, akan terus bekerja dalam sisa usia kami bersama tokoh-tokoh agama untuk melindungi masyarakat dan stabilitasnya. Dalam hal ini saya sangat mengapresiasi Forum Koalisi Agama untuk Keamanan Masyarakat yang telah terselenggara di sini, di Abu Dhabi, pada November lalu, dan mendapatkan dukungan dari Al-Azhar Al-Syarif bersama Vatikan, yang dihadiri oleh para pimpinan agama untuk menjalankan tanggung-jawabnya dalam melindungi martabat anak.

            Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada yang mulia Syekh Muhamad bin Zayed karena telah mensponsori insiatif bersejarah ini dan menggelar “Piagam Persaudaraan Manusia” yang saya harap akan diikuti oleh terwujudnya perdamaian antar-bangsa, bangkitnya perasaan cinta dan saling menghormati antara Barat dan Timur juga antara Utara dan Selatan.

            Sebagaimana saya sampaikan terima kasih kepada yang mulia Syekh Abdullah bin Zayed dan semua pemuda hebat yang bekerja keras mengatur pertemuan ini, mengorganisirnya dan menatanya dalam bentuk yang terhormat ini.

Dan bertolak dari Firman Allah:

ﱡﭐ ﳞ ﳟ ﳠ ﳡ ... ﳧ  ﱠ (الشعراء: [26] ١٨٣).

“Dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya”. (QS. Al-Syu’ara` [26]: 183).

saya ucapkan terima kasih kepada dua “pejuang tak dikenal” yang berada di balik pembuatan “Piagam Persaudaraan Manusia” semenjak awal hingga kemunculannya pada hari ini dan dalam acara bertaraf internasional ini, yaitu: dua “putra” saya Muhammad Abdussalam, mantan penasihat Syaikh Al-Azhar, dan Bapa Yoannis Lahzhi Jayid, sekretaris pribadi yang mulia Paus Fransiskus, untuk keduanya dan semua pihak yang berkontribusi dalam menyukseskan pertemuan ini saya ucapkan terima kasih dan penghargaan tulus.

            Terima kasih atas perhatiannya.

            Wassalâmu ‘Alaikum wa Rahmatullâhi wa Barakâtuh

Grand Syaikh Al-Azhar

Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib

 

[1] Kitab Keluaran (Pasal 20)

[2] Mathius 5: 21-25

Print
10709 Rate this article:
1.0

Please login or register to post comments.

أقسم بالله العظيم أن أكون مخلصًا لديني ولمصر وللأزهر الشريف, وأن أراقب الله في أداء مهمتى بالمركز, مسخرًا علمي وخبرتى لنشر الدعوة الإسلامية, وأن أكون ملازمًا لوسطية الأزهر الشريف, ومحافظًا على قيمه وتقاليده, وأن أؤدي عملي بالأمانة والإخلاص, وأن ألتزم بما ورد في ميثاق العمل بالمركز, والله على ما أقول شهيد.